Ancaman Hukuman bagi Bandar Judi Online
Melansir ejournal.unsrat.ac.id, orang yang menjalankan usaha permainan judi sebagai perusahaan atau mata pencaharian dianggap melakukan tindak pidana yang diatur dalam butir ke-1 dan ke-2 Pasal 303 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindak pidana yang dimaksud meliputi:
- Dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai mata pencaharian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan perjudian.
- Dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan perjudian, tanpa peduli apakah untuk memanfaatkan kesempatan tersebut diperlukan suatu syarat atau dipenuhi suatu tata cara.
Kemudian, pada 1974 diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Dengan undang-undang tersebut, dilakukan dua perubahan terkait tindak pidana perjudian dalam KUHP.
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 disebutkan untuk mengubah ancaman hukuman dalam Pasal 303 ayat (1) KUHP. Perubahan yang dimaksud adalah dari awalnya hukuman penjara maksimal 2 tahun 8 bulan atau denda Rp90.000 menjadi hukuman penjara paling lama 10 tahun atau denda Rp25 juta.
Namun, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengancam bandar, pelaku judi, dan promotor judi online dengan hukuman yang semakin diperberat.
Dalam Pasal 45 ayat (3) UU ITE tercantum bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi atau dokumen elektronik yang bermuatan perjudian dipidana penjara paling lama 10 tahun atau denda maksimal Rp10 miliar.
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Perjudian Menurut Hukum Indonesia
Pasal 303 bis ayat (1) KUHP, berbunyi:
1) Diancam dengan kurungan paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak sepuluh juta rupiah:
barangsiapa menggunakan kesempatan untuk main judi, yang diadakan dengan melanggar peraturan pasal 303;
barangsiapa ikut serta permainan judi yang diadakan di jalan umum atau di pinggirnya maupun di tempat yang dapat dimasuki oleh khalayak umum, kecuali jika untuk mengadakan itu, ada izin dari penguasa yang berwenang.
Sementara itu mengenai perjudian online diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UU ITE yang berbunyi:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
Ancaman terhadap pelanggaran ini diatur dalam Pasal 45 ayat (2) UU 19/2016, yakni:
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Prosedur Penangkapan Menurut KUHAP
Terkait dengan penangkapan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, maka terdapat beberapa hal yang mendasari penangkapan dilakukan oleh aparat kepolisian. Pihak kepolisian dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup, memiliki kewenangan untuk melakukan penangkapan. Hal tersebut diatur dalam
Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Namun, dalam melakukan penangkapan terdapat prosedur yang harus dijalankan yang diatur dalam Pasal 18 KUHAP yang berbunyi:
Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.
Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
Prosedur penangkapan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam hal ini telah benar apabila prosedur sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pasal 18 KUHAP di atas telah dijalankan.
Menjawab pertanyaan Anda selanjutnya, yaitu mengenai bantuan hukum atau referensi pengacara. Bila memang saudara Anda tidak mampu secara finansial, Anda bisa meminta bantuan hukum kepada lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada di daerah Anda. Namun, pada dasarnya seorang advokat dalam menentukan besarnya honorarium advokat wajib untuk mempertimbangkan kemampuan klien, sebagaimana yang disebutkan dalam
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Narasumber: Gloria Beatrix – Relawan Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” UNPAR
Perkembangan zaman menyebabkan berkembangnya teknologi dan informasi. Dengan adanya teknologi, segala sesuatu dapat diperoleh secara instan. Hal ini terlihat dengan banyaknya aplikasi-aplikasi yang menyediakan berbagai kebutuhan sehingga semua orang tidak perlu untuk pergi ke suatu tempat, melainkan cukup untuk membeli secara dalam jaringan (online).
Pada tahun 2020, dunia dilanda dengan pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) yang menyebabkan aktivitas semua orang di luar rumah harus dibatasi.[1] Oleh karena itu, banyak orang yang membeli kebutuhan sehari-hari maupun barang yang diinginkannya secara online. Dengan begitu, maka kegiatan jual beli secara online ini semakin sering dilakukan. Namun, dengan adanya kegiatan jual beli yang dilakukan secara online mengundang jenis kejahatan yang baru yaitu penipuan online.
Penipuan online merupakan salah satu tindakan kejahatan yang paling banyak dilaporkan. Hal ini dibuktikan dengan adanya data dari databoks yang menunjukkan bahwa sejak tahun 2016 hingga tahun 2020 terdapat 7.047 (tujuh ribu empat puluh tujuh) kasus penipuan online yang dilaporkan.[2] Oleh karena itu, jika dirata-rata setiap tahunnya, maka terdapat 1.409 (seribu empat ratus sembilan) kasus penipuan online. Maraknya penipuan online menyebabkan pentingnya edukasi terhadap masyarakat agar dapat mencegah dan mengetahui cara yang dapat dilakukan ketika menjadi korban dari peristiwa ini. Selain itu juga, penting bagi masyarakat untuk mengetahui sanksi pidana atas tindak pidana penipuan online.
Penipuan secara online pada dasarnya sama dengan penipuan konvensional yang diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP). Perbedaan mendasar dalam penipuan konvensional dan penipuan secara online terdapat pada sarana perbuatannya. Hal ini disebabkan karena penipuan konvensional adalah jenis penipuan yang pada umumnya terjadi dan diperuntukkan pada semua hal yang terjadi dalam dunia nyata, bukan pada dunia maya.[3] Oleh karena itu, pada penipuan secara online, sarana perbuatannya menggunakan sistem elektronik dengan melalui komputer, internet, dan perangkat telekomunikasi.[4] Terlepas dari perbedaannya, penipuan online ini juga memiliki bentuk yang bermacam-sama seperti penipuan konvensional pada umumnya.
Salah satu bentuk penipuan online yang sering terjadi adalah penipuan jual beli online. Penipuan jual beli online ini biasanya terjadi ketika dilakukan jual beli di situs online. Korbannya tidak hanya pembeli, tetapi penjual pun mengalaminya. Terdapat 3 (tiga) bentuk penipuan jual beli online yang sering terjadi yaitu:[5]
Berdasarkan penjelasan sebelumnya mengenai bentuk-bentuk penipuan jual beli online, sudah seharusnya masyarakat baik sebagai pembeli maupun penjual melakukan beberapa tindakan pencegahan. Tindakan pencegahan yang pertama adalah bagi pembeli maupun penjual harus terlebih dahulu memastikan identitas dari penjual maupun pembeli. Kedua, untuk pembeli mengutamakan sistem Cash on Delivery (COD).[6] Sistem COD ini adalah suatu metode pembayaran yang dapat dilakukan secara langsung setelah pesanan dari kurir diterima oleh pembeli.[7] Namun, jika tidak memungkinkan dilakukannya COD, maka pembeli disarankan untuk selalu meminta resi jasa pengiriman barang agar dapat melakukan pengecekan terhadap barang yang dipesan. Ketiga, jangan mudah tergiur bagi pembeli untuk membeli barang yang murah karena barang tersebut bisa saja barang bekas atau barang tiruan. Kemudian, bagi penjual diharapkan untuk selalu memastikan mutasi rekening ketika pembeli mengirimkan bukti transfer untuk menghindari bahwa bukti transfer yang dikirimkan adalah palsu. Dalam memastikan rekening tersebut palsu atau tidak terdapat situs yang disediakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Situs tersebut bernama cekrekening.iddan dapat memperlihatkan rekening yang terindikasi dengan tindak pidana penipuan. Caranya adalah dengan mengunjungi laman cekrekening.id kemudian mengisi form nama bank dan nomor rekening yang akan dilaporkan, setelah itu akan dilakukan verifikasi oleh tim cek rekening. Lalu, akan muncul hasil verifikasi mengenai rekening tersebut memang terindikasi melakukan penipuan atau tidak serta riwayat pelaporan.[8]
Dalam hal sudah dilakukan pencegahan tetapi penipuan jual beli online tetap terjadi, maka yang dapat dilakukan oleh korban adalah segera menghubungi pusat panggilan aplikasi uang elektronik yang disediakan oleh E-Commerce seperti Shopee Pay, Ovo, atau lain-lain untuk melakukan pembatalan pembayaran. Selain itu juga, bisa menghubungi mobile banking (m-banking) terkait sehingga dapat meminta bank untuk memblokir rekening dan segera mendatangi gerai bank untuk mendapatkan solusi lebih lanjut. Kemudian, laporkan juga kepada pihak yang berwenang untuk melengkapi pelaporan dan penyelidikan lebih lanjut. Pelaporan ini dapat dilakukan kepada pihak Kepolisian, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan instansi terkait lainnya.[9]
Mengenai sanksi pidana dari tindakan penipuan, telah diatur dalam Pasal 378 KUHP yang menyatakan bahwa:
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat (hoedanigheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Pengertian penipuan secara konvensional yang diatur dalam Pasal 378 KUHP belum mencakup secara komprehensif mengenai penipuan online dalam transaksi elektronik. Oleh karena itu, perlu diketahui mengenai aturan yang secara khusus mengenai transaksi elektronik. Aturan itu adalah Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut sebagai UU ITE).
Dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE dijelaskan mengenai kerugian konsumen dalam transaksi elektronik yaitu:
“Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”
Kemudian jika dilakukan pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat (1) UU ITE maka akan dikenakan ancaman pidana sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 45A ayat (1) UU ITE yaitu:
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Pasal 378 KUHP dan Pasal 28 ayat (1) UU ITE mengatur hal yang berbeda. Hal ini disebabkan karena pada Pasal 378 KUHP mengatur mengenai penipuan secara konvensional sedangkan pada Pasal 28 ayat (1) UU ITE diatur mengenai berita bohong dan menyesatkan sehingga menyebabkan kerugian terhadap konsumen dalam transaksi elektronik.[10] Walaupun begitu, di antara keduanya terdapat persamaan yaitu menyebabkan kerugian bagi orang lain.[11]
Menurut hemat Penulis, dalam kasus penipuan jual beli online terjadi karena adanya berita bohong dan menyesatkan yang menyebabkan kerugian terhadap konsumen dalam transaksi elektronik sehingga Pasal 28 ayat (1) UU ITE beserta sanksinya yang terdapat dalam Pasal 45A ayat (1) UU ITE dapat diterapkan. Selain itu, dengan melihat ketentuan dalam Pasal 378 KUHP yang belum mengatur secara komprehensif mengenai penipuan jual beli online menyebabkan pasal ini sulit untuk diterapkan. Hal ini sejalan dengan adanya asas Lex Specialis Derogat Legi Generali yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum.[12] Oleh karena itu, jika terjadi penipuan jual beli online pasal yang dapat diterapkan adalah Pasal 28 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 45A ayat (1) UU ITE selama unsur-unsurnya terpenuhi.
Berdasarkan pemaparan ini, dapat diketahui bahwa penipuan jual beli online merupakan suatu tindakan yang dapat dikenakan sanksi pidana. Namun, sebenarnya dalam UU ITE ini hanya mengatur jika terjadi adanya berita bohong yang merugikan konsumen, tetapi tidak mengatur jika pihak yang dirugikan adalah penjual. Oleh karena itu, menurut hemat Penulis sebaiknya ditambahkan ketentuan mengenai penjual yang menjadi korban sehingga penjual pun dapat dilindungi. Selain itu juga, dikarenakan penipuan jual beli online ini masih sering terjadi, masyarakat harus lebih berhati-hati dalam melakukan transaksi jual beli online dan menerapkan berbagai tindakan pencegahan agar terhindar dari kejahatan penipuan jual beli online ini.
[1] Anonim, Jejak Pandemi Covid-19, dari Pasar hingga Mengepung Dunia, https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210804100935-113-676183/jejak-pandemi-covid-19-dari-pasar-hingga-mengepung-dunia (diakses 20 Januari 2021).
[2] Muhammad Ahsan Ridhoi, Ribuan Penipuan Online Dilaporkan Dalam Lima Tahun Terakhir, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/09/11/ribuan-penipuan-online-dilaporkan-tiap-tahun (diakses 20 Januari 2021).
[3] Rizki Dwi Prasetyo, Artikel Ilmiah: Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Penipuan Online dalam Hukum Pidana Positif di Indonesia (Malang: Sarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2014), halaman 7-8.
[4] Satria Nur Fauzi dan Lushiana Primasari, Tindak Pidana Penipuan Dalam Transaksi di Situs Jual Beli Online (E-Commerce), Recidive, Volume 7 – Nomor 3, September-Desember 2018, halaman 251.
[5] Jevlin Solim, dkk, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Penipuan Situs Jual Beli Online di Indonesia, Jurnal Hukum Samudera Keadilan, Volume 1- Nomor 1, Januari-Juni 2019, halaman 103-104.
[6] Semi Iwarti, Skripsi: Modus Penipuan dalam Praktek Jual Beli Online dan Cara Pencegahannya Prespektif Hukum Islam, (Bengkulu: Sarjana Fakultas Hukum Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu, 2021), halaman 34.
[8] Tashia, Sistem e-Commerce dan Perlindungan Konsumen, https://aptika.kominfo.go.id/2017/06/sistem-e-commerce-dan-perlindungan-konsumen/ (diakses 24 Juni 2021).
[9] Faisal Hafis, Apa yang Harus Dilakukan Jika Jadi Korban Penipuan Online, https://kominfo.go.id/content/detail/27912/apa-yang-harus-dilakukan-jika-jadi-korban-penipuan-online-ini-solusi-kominfo/0/sorotan_media (diakses 20 Januari 2021).
[10] Dimas Hutomo, Cara Menentukan Pasal untuk Menjerat Pelaku Penipuan Online,https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5d1ad428d8fa3/cara-menentukan-pasal-untuk-menjerat-pelaku-penipuan-online/#:~:text=Setiap%20Orang%20yang%20dengan%20sengaja,.000.000%2C00%20(satu%20miliar (diakses 24 Juni 2021).
[12] Letezia Tobing, Mengenai Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt509fb7e13bd25/lex-spesialis-dan-lex-genralis (diakses 24 Juni 2021).
TEMPO.CO, Jakarta - Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) telah menangkap 370 tersangka judi daring atau judi online dalam kurun waktu lima bulan terakhir, sejak 15 Juni hingga 1 November 2024.
Para tersangka tersebut mencakup 300 kasus yang diungkap oleh Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Judi Online Polri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak hanya itu, Polri juga mengajukan pemblokiran 76.722 situs atau konten perjudian. Lantas, apa ancaman hukuman bagi pengelola atau bandar, pelaku atau pemain, dan penyebar atau promotor judi online?
Ancaman Hukuman bagi Pemain Judi Online
Sementara itu, pemain yang menjadikan judi online sebagai mata pencaharian disebut telah melanggar Pasal 303 ayat (1) butir ke-3 KUHP, dengan ancaman pidana penjara hingga 10 tahun atau denda Rp 25 juta. Pelaku judi online tersebut juga diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda maksimal Rp 10 juta sebagaimana diatur dalam Pasal 303 bis ayat (1) KUHP.
Adapun tindak pidana yang disangkakan kepada pemain judi online dalam Pasal 303 bis ayat (1) KUHP, yaitu:
- Barangsiapa menggunakan kesempatan bermain judi yang diadakan dengan melanggar ketentuan Pasal 303.
- Barangsiapa ikut serta main judi di jalan umum atau pinggir jalan umum atau tempat yang dapat dikunjungi umum, kecuali penguasa yang berwenang telah memberi izin untuk menyelenggarakan perjudian tersebut.
Namun, Pasal 427 KUHP menyebutkan bahwa setiap orang yang menggunakan kesempatan bermain judi yang dilaksanakan tanpa izin, dipidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak kategori III (Rp 50 juta).
Dampak Negatif Judi Online
Dampak judi online juga ternyata sangat buruk dan membahayakan. Beberapa diantaranya bahkan menyebabkan terjadinya tindakan kriminal. Lalu, apa saja dampak judi online?
Salah satu dampak negatif utama dari judi online adalah kecanduan. Banyak orang yang terjebak dalam siklus judi yang tidak berujung, hingga menyebabkan ketergantungan dan sulit untuk lepas dari lingkaran judi online.
Kecanduan judi sering kali membuat seseorang kehilangan kendali atas keuangan dan kehidupannya, menyebabkan dampak jangka panjang yang merugikan.
Kecanduan judi online lama kelamaan dapat mengakibatkan gangguan mental seperti kecemasan, depresi, dan bahkan pikiran untuk bunuh diri.
Hal itu bisa disebabkan akibat kerugian finansial yang terus-menerus serta tekanan untuk terus berjudi demi menutup kerugian sebelumnya
Dampak negatif judi online selanjutnya adalah masalah keuangan. Pelaku judi online kerap menggunakan uang yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan dasar, seperti membayar tagihan atau membeli kebutuhan sehari-hari. Kerugian besar yang dialami dalam perjudian sering kali membuat pelaku terjebak dalam hutang.
Pelaku judi online cenderung mengabaikan hubungan sosialnya. Bahkan judi online juga seringkali merusak hubungan sosial, baik dengan keluarga, teman, maupun rekan kerja.
Pasalnya, kepercayaan keluarga dan teman sering hilang ketika mengetahui keterlibatan seseorang dalam judi online.
Selain dampak mental, judi online juga memiliki dampak pada kesehatan fisik. Kebiasaan berjudi yang berlebihan sering kali mengakibatkan kurang tidur, pola makan yang buruk, dan gaya hidup yang tidak sehat.
Stres yang diakibatkan oleh kekalahan dalam judi juga dapat memicu berbagai masalah kesehatan seperti hipertensi dan penyakit jantung.
Hukuman bagi Pelaku Judi Online
Menurut Pasal 27 ayat (2) UU 1/2024 tentang perubahan kedua UU ITE, judi online termasuk dalam perbuatan yang dilarang. Adapun hukuman pelaku judi online diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU 1/2024 adalah sebagai berikut:
Kegiatan judi online dikategorikan sebagai aktivitas yang dilarang. Hukuman untuk mereka yang melanggar adalah dipidana dengan hukuman penjara paling lama 10 tahun.
Hukuman ini bertujuan untuk memberikan efek jera kepada para pelaku dan mencegah orang lain terlibat dalam judi online.
Selain hukuman penjara, pelaku judi online juga dapat dikenakan denda yang cukup besar yakni denda paling banyak Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah).
Ancaman Hukuman bagi Penyebar Judi Online
Kemudian, bagi seseorang yang dengan sengaja mempromosikan judi online dapat dituntut dengan Pasal 27 ayat (2) UU ITE, yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian.”
Ancaman pidana bagi penyebar juga sama dengan bandar judi online, yaitu pidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp10 miliar. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU ITE.
Dede Leni Mardianti berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.
Kominfo terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya judi online.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyebut pelaku judi online bisa dikenai sanksi sesuai Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), di mana pasal 303 bis KUHP turut mengancam para pemain judi dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda pidana paling banyak 10 juta rupiah.
“Penjudi itu bagian dari pelaku, dan menurut KUHP pasal 303 itu menyatakan bahwa judi itu tidak pidana, begitu juga UU No.11 Tahun 2008 tentang ITE di pasal 27, judi online itu pidana, dan termasuk pidana berat, bukan pidana ringan, karena hukumannya judi online itu enam tahun penjara, denda Rp1 miliar,” ujar Muhadjir seperti dikutip Antara, Rabu (19/6).
Pasal 27 ayat 2 UU ITE Bab VII tentang Perbuatan yang Dilarang, menyatakan bahwa “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian”.
Menko PMK juga menegaskan, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan surat keputusan pembentukan Satgas Pemberantasan Perjudian Online yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto, di mana dirinya berkapasitas sebagai Wakil Ketua.
Pembentukan Satgas tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring yang terbit di Jakarta 14 Juni 2024.
“Yang penting itu sebetulnya pencegahan dan penindakan. Kalau soal korban, itu saya rasa nanti kita lihat, apakah memang ada yang serius atau tidak menjadi korban itu,” ucap Muhadjir..
Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya judi online. Salah satu cara yang dilakukan dengan mengirimkan SMS Blast kepada pengguna layanan telekomunikasi seluler di seluruh Indonesia.
TEMPO.CO, Jakarta - Judi online merupakan bentuk perjudian yang dilakukan melalui situs web atau aplikasi khusus. Meski beragam upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan kepolisian demi memberantas judi online, namun pada kenyataannya judi online masih marak dimainkan karena mudah diakses lewat smartphone atau komputer.
Aturan pelarangan judi online diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UU 1/2024 tentang perubahan kedua UU ITE, yang berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Oleh karena itu, siapa saja yang terlibat judi online, mulai dari bandar, orang yang mempromosikan saja, hingga pelaku judi online dapat terkena hukuman. Adapun hukumannya bisa berupa penjara hingga denda.
Tidak hanya melanggar undang-undang, judi online juga memberikan dampak negatif dan memiliki risiko serius yang mungkin tidak begitu terpikirkan oleh para pemain. Berikut adalah dampak negatif dan hukuman bagi pelaku judi online.